Tuesday 16 July 2019

Tentang Laki-Laki dan Perempuan



"Laki-laki itu kalau dalam tekanan masalah, mereka menyendiri, berkontenflasi dan merumuskan solusi. Perempuan kalau ada masalah mereka berbicara untuk mencurahkan isi hatinya mengurangi ketegangannya, pengen merasa dimengerti, difahami dan merasa tidak sendiri, kalau perlu menangis sampai tuntas air mata" (Ustadz Salim A Fillah)

Perempuan kalau ada masalah cenderung ingin bercerita sampai tuntas, lalu kemudian dia mungkin akan merasa lega setelah bercerita. Ketika dia bercerita maka dengarkan dengan antusias, karena kalau kamu mendengarkan hanya sekedarnya saja, dia akan merasa tidak dihargai dan merasa ceritanya diabaikan. Perempuan itu kadang cuma ingin didengarkan tanpa meminta solusi dari masalahnya, dia hanya merasa ingin didengarkan, ingin orang lain mengerti perasaannya, ingin kemudian melepaskan beban yang menyesakkan dadanya.

Sedangkan laki-laki kalau ada masalah cenderung untuk diam walaupun diwajahnya terlihat beban. Dia akan menceritakan masalahnya setelah dirinya merasa tenang dan mungkin ketika masalah itu telah dia selesaikan, karena dia merasa bahwa laki-laki itu memiliki tanggung jawab sehingga dia tidak ingin terlihat lemah didepan pasangannya.

Jadi kalau perempuan punya masalah dengarkan ceritanya, tak perlu memarahinya, dan mungkin jangan tawarkan solusi yang menurutmu itu sangat simple, karena itu adalah solusi yang mungkin menyinggung perasaannya. Misalkan seorang istri mengeluhkan "aku capek seharian ini, anak-anak rewel, mana dikantor ada masalah, belum lagi, ditambah lagi rumah berantakan, kerjaan rumah banyak, nyuci, masak, beres-beres hufh". Maka jangan tawarkan "ya udah nanti kita sewa pembantu buat beresin rumah". Ah itu adalah solusi simple dari laki-laki yang menyinggung perasaan perempuan, dalam keadaan capek dia ingin didengarkan, dengan menawarkan pembantu itu bisa  diartikan bahwa selama ini yang dia lakukan untuk rumahnya tak lebih seperti pembantu.

Jika laki-laki merasa terbebani dengan masalahnya, maka jangan paksa dia untuk bercerita masalahnya, karena dia tidak ingin membuatmu (perempuan) merasa terbebani juga dengan masalahnya, dia hanya tidak ingin membuatmu (perempuan) khawatir dengan masalahnya. Mungkin dengan memberinya waktu untuk menyendiri dengan tenang, bisa dengan memberikan semangat dengan senyuman atau memberinya segelas teh atau kopi hangat untuknya. kemudian setelah dia merasa tenang, mungkin dia akan menceritakan masalahnya. Maka saat itu berilah dia semangat dan jangan mengeluhkan segala hal, kuatkan dia jika masalah itu belum kelar, jika masalah itu telah kelar maka apresiasi sebagai bentuk menghormati dan menjadikan dia seperti super hero.

Perihal pernikahan itu banyak yang harus dipelajari. Termasuk belajar ilmu komunikasi, bagaimana berkomunikasi yang baik dan benar dengan pasangan. Belajar ilmu psikologi pasangan, bagaimana menghadapi masalah dengan berbagai emosi, bagaimana saat sedang bahagia dan bagaimana saat sedang sedih, sedang marah dan segala situasi.

Salah jika pendapat perempuan itu tugasnya hanya sumur, dapur dan kasur. karena banyak yang harus dia lakukan untuk keluarganya, untuk suaminya, anak-anaknya, belajar menghormati tetangga, menghormati orang lain, dan sangat-sangat banyak tugasnya.
Makanya perempuan itu mulia, saat kecil ia menjadi surga untuk ayahnya, saat dewasa menjadi surga untuk suaminya, dan saat menjadi ibu surga ada dibawah kakinya.
Saat dia kecil, dia wajib berbakti kepada orang tuanya, saat dia dewasa wajib berbakti kepada suaminya, dan saat menjadi ibu, anak laki-lakinya tetap wajib berbakti kepadanya.

Jadi cintamu (laki-laki) kepada istrimu jangan sampai menghilangkan baktimu kepada ibumu, dan baktimu (laki-laki) kepada ibumu jangan sampai mendzolimi istrimu.

Perempuan ketika menikah, dikelurga sendiri seperti tamu, dikeluarga mertua seperti orang lain.
Laki-laki selalu berkata "Jadilah menantu yang baik, karena ibuku membesarkanku tidak mudah"
Tapi sangat jarang mengatakan "Ibu, berbaiklah sedikit dengan istriku, dia rela meninggalkan orang tua yang sangat disayanginya untuk datang kekeluarga kita, sangat tidak mudah baginya untuk meninggalkan orang tuanya dan menjadi orang baru dalam keluarga kita".

Aku memang belum menikah, mungkin itu adalah penalaranku dari sebuah kutipan ceramah dari Ustadz Salim.

Ketika dulu ada teman yang sudah menikah, lalu kemudian baru ku sadari ternyata memang banyak teman-temanku yang sudah menikah dan punya anak. Tiba-tiba terbesit dalam pikiran "bagaimana setelah mereka menikah, bagaimana cara mendidik anak" sebuah ketakutan yang terlintas, bahwa aku gagal dalam mendidik anak. Tapi itu kan tugas bersama dalam rumah tangga. Ya tentu itu tugas bersama, tapi bukankah ibu itu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Waktu kuliah diajarkan cara komunikasi mulai dari bayi sampai orang tua. Bagaimana seharusnya belajar berkomunikasi dan memahami bahasa dari bayi, anak-anak, remaja dan dewasa.
Sungguh jika itu semua dibahas, mungkin aku tidak akan sanggup dan mungkin aku sangat-sangat takut untuk menikah. Ya memang mungkin belum siap, terutama ilmu parenting yang mungkin aku dapatkan dari kuliah dari ceramah-ceramah d internet dll. Belum ada satupun tabungan buku ilmu parenting, belum satupun buku tentang psikologi anak.

Proses pendewasaan, proses belajar, proses dan terus berproses untuk lebih baik.
Oke yang pasti sekarang belajar menjadi perempuan produktif yang bermanfaat. Tidak boleh hanya memikirkan tentang jodoh tanpa ada perbaikan-perbaikan dan mempersiapkannya. Ingin mendapatkan yang sholih, mapan, baik, romantis, dan segala-galanya, sudah pantas kah dengan diri yang masih banyak salah.

No comments:

Post a Comment